Jakarta,neocakra.com _Isu kandungan minyak babi dalam baki Makanan Bergizi Gratis sebenarnya telah banyak dibicarakan oleh banyak penulis di berbagai media massa. Isu kandungan minyak babi dalam baki Makanan Bergizi Gratis (MBG) sebenarnya telah banyak dibicarakan oleh berbagai penulis di media massa.
Isu ini bermula pada akhir Agustus 2025 ketika sebuah laporan investigatif dari Indonesia Business Post (IBP) di Chaoshan, Guangdong, China, mengklaim adanya indikasi bahwa baki impor yang digunakan dalam program MBG diproduksi dengan minyak atau lemak babi.
Temuan tersebut segera menyebar ke publik melalui sejumlah portal berita nasional dan media sosial, sehingga memicu keresahan masyarakat. Pemerintah pun menanggapi dengan menyatakan kesediaannya melakukan pengujian resmi untuk memastikan kebenaran kabar tersebut.
Pada 26–28 Agustus 2025, isu ini semakin viral. Masyarakat luas, organisasi Islam, hingga LPPOM MUI menyuarakan kekhawatiran mengenai kehalalan baki MBG. Pihak Istana, melalui Kantor Komunikasi Kepresidenan, menegaskan bahwa sejauh itu belum ada bukti konkret. Namun, pemerintah menyatakan siap melakukan pengujian laboratorium melalui BPOM apabila diperlukan.
Memasuki awal September 2025, perhatian publik beralih ke ranah politik. Komisi IX DPR menuntut investigasi menyeluruh agar isu ini terang-benderang dari hulu ke hilir, mencakup asal-usul baki, proses produksi, hingga jaminan sertifikasi halal. BGN kemudian menyatakan komitmennya untuk mengganti seluruh baki MBG apabila terbukti mengandung minyak babi. Pemeriksaan pun dijanjikan akan dilakukan bersama BPOM dan instansi terkait.
Ketegangan meningkat pada 18 September 2025 ketika RMI-NU DKI Jakarta mengumumkan hasil temuannya: dua baki impor dari Tiongkok diduga mengandung lemak babi. Pernyataan ini kembali mengundang kehebohan.
Namun, BGN bersama BPJPH segera memberikan klarifikasi bahwa baki produksi dalam negeri menggunakan minyak nabati, sedangkan dugaan penggunaan minyak hewani hanya berkaitan dengan pelumasan mesin cetak dalam proses manufaktur, bukan sebagai bagian dari produk akhir. Pemerintah juga menegaskan bahwa seluruh baki impor wajib memiliki sertifikasi halal.
Pada hari yang sama, Presiden Prabowo turut turun tangan dengan langsung menghubungi Kepala BGN untuk meminta penjelasan resmi. Dari penjelasan tersebut, ditegaskan bahwa baki MBG tidak mengandung minyak babi, dan bahwa pelumas industri yang digunakan dalam proses produksi telah dibersihkan sebelum produk dipasarkan. Selain itu, pemerintah menjamin bahwa baki dalam negeri tetap aman, dan untuk produk impor akan dilakukan sertifikasi halal guna menghindari polemik di kemudian hari.
Berangkat dari isu tersebut penulis dimintai untuk memberikan tanggapan dan pendapat oleh salah seorang teman santri di pondok. Permasalahannya adalah bagaimana hukum mengkonsumsi makanan dengan wadah yang diduga mengandung atau terkontaminasi minyak babi dalam pandangan Islam?
Memperhatikan Halal dan Haram sebagai Bagian dari Dasar Agama (Uṣūl al-Dīn)
Persoalan halal dan haram merupakan pelajaran pertama yang diterima manusia dari Allah SWT. Persoalan ini menjadi asas tegak dan seimbangnya seluruh alam semesta dan kehidupannya. Rasulullah Saw. bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Al-Nu’man bin Basyir:
الحَلالُ بَيِّنٌ، والحَرامُ بَيِّنٌ، وبيْنَهُما مُشَبَّهاتٌ لا يَعْلَمُها كَثِيرٌ مِنَ النّاسِ، فَمَنِ اتَّقى المُشَبَّهاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وعِرْضِهِ، ومَن وقَعَ في الشُّبُهاتِ: كَراعٍ يَرْعى حَوْلَ الحِمى، يُوشِكُ أنْ يُواقِعَهُ، ألا وإنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، ألا إنَّ حِمى اللَّهِ في أرْضِهِ مَحارِمُهُ، ألا وإنَّ في الجَسَدِ مُضْغَةً: إذا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وإذا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، ألا وهي القَلْبُ.
“Yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas, sedangkan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat yang tidak banyak diketahui oleh manusia. Maka siapa yang menjaga diri dari perkara syubhat, sungguh ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjatuh ke dalam perkara syubhat, ia bagaikan seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia akan memasukinya. Ketahuilah, setiap raja memiliki wilayah larangan. Ketahuilah, wilayah larangan Allah di bumi-Nya adalah hal-hal yang Dia haramkan. Ketahuilah, di dalam tubuh ada segumpal daging; jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh; dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Al-Bukhari).
Hadits ini merupakan salah satu hadis yang menjadi pokok landasan Islam. Oleh karena itu, Imam Al-Gazālī menjadikan persoalan memperoleh makanan dan minuman yang halal sebagai salah satu pondasi agama Islam (uṣūl al-dīn). Beliau mengatakan dalam Kitāb al-Arba’īn Fī Uṣūl al-Dīn, bahwa mengkonsumsi makanan yang baik (ṭayyib) memiliki pengaruh yang besar terhadap pembersihan dan pencerahan hati, serta pembersiapkannya untuk menerima pengetahuan.
Terdapat istilah “ḥalāl[an]-ṭayyib[an]” dalam Islam. Istilah ini terdapat di dalam Al-Quran dalam konteks makanan dan menggunakan yang terhampar di muka bumi. Ḥalāl adalah sesuatu yang diperbolehkan oleh agama untuk mengambil, melakukan, dan mengonsumnya. Sesuatu yang halal terdiri dari empat jenis, yaitu: wajib, sunnah/anjuran, makruh, dan mubah.
Kemudian ṭayyib[an] yang secara bahasa merupakan lawan kata dari buruk, kotor, dan menjijikan, adalah sesuatu yang menyenangkan panca indera dan jiwa, serta jauh dari keburukan dan kotoran. Sesuatu (makanan atau minuman) yang thayyib adalah yang mengundang selera, tidak kotor atau kedaluwarsa, tidak bercampur dengan najis, tidak membahayakan kesehatan akal, fisik, dan jiwa, dan memiliki gizi yang cukup dan seimbang.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan makanan dan minuman yang berpengaruh terhadap kondisi hati dan jiwa—sebagaimana dijelaskan Imam Al-Gazālī—adalah makanan dan minuman yang bersifat halal dan ṭayyib (halal serta baik). Penjelasan ini sejalan dengan makna penggalan hadis Nabi Saw.:
“Ketahuilah, di dalam tubuh terdapat segumpal daging; apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh; dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa baik atau buruknya perilaku seseorang sangat ditentukan oleh kondisi hatinya. Lebih jauh, kondisi hati itu sendiri sangat dipengaruhi oleh apa yang dikonsumsi. Apabila seseorang mengonsumsi makanan dan minuman yang halal-thayyib, maka hatinya akan terjaga dalam kebaikan, yang pada gilirannya akan melahirkan akhlak mulia dan perilaku terpuji. Sebaliknya, apabila yang dikonsumsi bersifat haram atau tidak baik, maka hati akan rusak, dan kerusakan hati tersebut akan tercermin dalam perilaku yang buruk.
Hukum Mengkonsumsi Makanan atau Minuman dalam Wadah yang Terkontaminasi Najis
Secara bahasa najis adalah sesuatu yang dianggap kotor. Sedangkan secara istilah, ia adalah setiap benda yang haram untuk dikonsumsi bukan karena kehormatannya, bukan pula semata-mata karena dianggap kotor, dan bukan pula karena bahayanya bagi tubuh atau akal.
Najis dibagi menjadi dua macam, yaitu: najis ‘ainiyyah dan najis ḥukmiyyah. Najis ‘ainiyyah adalah najis yang dapat ditangkap oleh panca indera, atau najis yang terdapat rupa, bau, dan rasanya. Najis ḥukmiyyah adalah kebalikan dari najis ‘ainiyyah, yaitu najis yang sifatnya i‘tibārī (ketetapan hukum) yang apabila najis ini melekat pada anggota tubuh seseorang atau benda yang dibawanya dalam salat, maka salat tidak sah.
Baik najis ‘ainiyyah maupun najis ḥukmiyyah, dibagi lagi menjadi najis mugallaẓah (najis berat), mukhaffafah (najis ringan), dan mutawassiṭah (najis sedang). Najis mugallaẓah adalah najis anjing, babi, serta apa yang lahir dari keduanya atau dari salah satunya.
Najis mukhaffafah adalah air kencing bayi laki-laki yang belum makan selain susu sebagai makanan pokoknya dan belum genap berusia dua tahun. Najis mutawassiṭah adalah selain najis mugallaẓah dan mukhaffafah, seperti air kencing, kotoran, dan darah.
Setiap jenis najis, apapun macam dan bentuknya, wajib disucikan agar ibadah seorang muslim, khususnya salat, tetap sah. Prinsip utama dalam penyucian najis adalah menghilangkan terlebih dahulu wujudnya, yaitu rupa, bau, dan rasa yang melekat. Setelah itu, cara penyuciannya ditentukan oleh jenis najis yang menempel.
Apabila najis tersebut termasuk najis mugallaẓah (najis berat), maka penyuciannya dilakukan dengan mencuci atau mengguyur bagian yang terkena najis sebanyak tujuh kali menggunakan air suci, dan salah satunya harus dengan tanah yang suci. Apabila najis tersebut termasuk najis mukhaffafah (najis ringan), maka cukup disucikan dengan memercikkan air pada bagian yang terkena najis.
Sedangkan apabila najis tersebut termasuk najis mutawassiṭah (najis pertengahan), maka penyuciannya dilakukan dengan mencuci atau mengguyur bagian yang terkena najis menggunakan air suci, dan minimal dilakukan satu kali basuhan yang sempurna.
Merujuk pada isu penggunaan baki MBG serta informasi yang tersedia, dapat diasumsikan bahwa baki tersebut mengalami kontaminasi minyak babi pada saat proses pembentukannya, kemudian minyak tersebut dibersihkan sebelum produk dipasarkan.
Dalam perspektif fikih, minyak babi termasuk dalam kategori najis mughalazhah (najis berat). Oleh karena itu, apabila proses pembersihan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan penyucian najis mughalazhah sebagaimana dijelaskan dalam fikih—yaitu mencuci atau mengguyur sebanyak tujuh kali dengan air suci, salah satunya menggunakan tanah suci—maka baki tersebut tetap berstatus terkena najis ḥukmiyyah. Konsekuensinya, sebelum digunakan oleh konsumen muslim, baki tersebut wajib disucikan sesuai tuntunan syariat, yakni dengan cara mengguyurnya tujuh kali menggunakan air suci, dan salah satunya dengan tanah suci.