Tapi ketika Joko Widodo berdiri di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM, Jumat siang itu, yang terasa bukan nostalgia. Yang muncul justru kegugupan yang aneh, dingin, dan penuh simbol.
Publik tidak lagi menatap Jokowi sebagai Presiden ke-7 RI, tapi sebagai alumni yang belum pernah menunjukkan ijazah aslinya.
Dan di situlah ironi besar itu muncul.
Rektor memuji, dekan tersenyum, menteri ikut menyanjung. Semua formal. Semua tampak tertib. Tapi di bawah layar, publik membaca sesuatu yang lain — semacam skenario yang sudah disusun rapi.
Bahkan tepuk tangan pun terdengar seperti perintah, bukan spontanitas.
“Yang terhormat Presiden ke-7 RI, Bapak Joko Widodo, alumni Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980.”
Kalimat itu terdengar berat di udara.
Karena setiap kata “alumni” hari ini tak lagi sekadar gelar, melainkan klaim yang dipertanyakan.
Lalu datanglah momen yang tak terduga—salah salam.
Sebuah adegan kecil yang terekam jelas di kamera:
Ketika semua tamu dan civitas akademika UGM serentak menempelkan tangan kanan di dada kiri, refleks khas Salam Gadjah Mada, Jokowi tampak ragu.
Menoleh ke kanan, ke kiri, celingak-celinguk mencari petunjuk.
Beberapa detik kemudian, barulah tangannya bergerak—terlambat, kikuk, dan terlihat meniru.
Bagi sebagian orang, itu mungkin sekadar momen canggung.
Namun bagi publik yang sudah lama mengikuti kontroversi ijazahnya, refleks yang tertunda itu terasa seperti bukti yang tak terucap.
Karena refleks adalah kejujuran paling spontan—ia datang dari memori yang benar-benar hidup di dalam diri.
Alumni sejati tak perlu meniru.
Ia tahu salamnya, ia hidup dalam kebiasaan itu.
Dan ketika refleks sederhana itu gagal muncul, publik pun melihat bukan sekadar salah gerak, tapi salah peran.
Orang boleh memoles panggung, menghadirkan rektor, dekan, hingga menteri.
Tapi kebenaran tidak bisa dibangun dari jaringan seremonial.
Kebenaran hanya butuh satu hal: ijazah asli.
Dan justru itu yang tak kunjung muncul.
Setiap kali publik menanyakan, yang lahir bukan jawaban, melainkan drama.
Kadang hukum, kadang pengalihan isu, kadang tepuk tangan di auditorium.
Padahal kalau memang asli, sederhana saja: tunjukkan.
Bukan dengan seremoni, bukan dengan jaringan, bukan dengan gang kekuasaan.
Tapi dengan selembar kertas yang seharusnya sudah lama ada di tangan seorang lulusan sejati.
Sebab dalam panggung sejarah, kadang bukan kata-kata yang mengungkapkan segalanya, melainkan gestur kecil yang tak bisa dipalsukan.
Dan di hari itu, satu detik salah salam telah berbicara lebih lantang daripada seribu pidato.
Karena sesungguhnya, bukan publik yang sedang menguji Jokowi.
Tapi sejarah.