Notification

×

Iklan

Iklan

Malika Dwi Ana: Serakahnya Elit Negara Dibalik Kebijakan Etanol LPG Subsidi !!!

Jumat, 10 Oktober 2025 | Oktober 10, 2025 WIB Last Updated 2025-10-10T12:30:54Z
Jakarta, neocakra.com _Di panggung politik Indonesia, elit negara tampil dengan kostum memukau: jubah Sosialis Agamis saat kampanye, mantel Kapitalis saat berkuasa, dan sering kali berakhir dengan seragam Orange di balik jeruji—meski lebih banyak yang lolos. Di balik teater itu, ada pola gelap, yakni keserakahan elit yang berbisnis dengan rakyat, tapi dengan cara curang. 


Mereka menguasai alat produksi lewat kebijakan “superior” negara, memaksa swasta tunduk, dan mengarahkan keuntungan ke kantong kroni. Sindiran populer bilang, komunis pun akan jadi kapitalis saat istri atau ani-aninya minta tas Hermes dan barang mewah lainnya. 


Di Indonesia, ini bukan candaan—ini nyata. Selama elit seperti Luhut Binsar Pandjaitan dan Bahlil Lahadalia pegang kendali, kebijakan publik jadi alat bisnis curang: rakyat dikorbankan, kroni kaya raya.

Nasionalisme, yang seharusnya jadi perisai rakyat, malah jadi kedok diktator. Dianggap menganggu “kepentingan nasional”? Bisa-bisa “dibina” atau di-binasa-kan—entah aktivis, pedagang kecil, atau swasta yang tak sejalan. Manusia, makhluk memang paling susah diatur, ditundukkan dengan agama, ideologi, dan hukum. Dan Pancasila? Cuma jargon. Berapa banyak elit yang mengaku Pancasilais tapi tindakannya penuh tipu daya, pembodohan, korupsi, kolusi, dan nepotisme? Sila kelima tentang keadilan sosial jadi jargon usang, sekedar gula-gula di tangan elit serakah. 


Yang paling berbahaya? Ketika pebisnis serakah ini—dengan naluri untung-rugi dan jaringan kroni—diserahi tugas buat mengelola negara dan membuat kebijakan publik. Hasilnya: kebijakan seperti etanol dan LPG subsidi, yang katanya untuk rakyat, tapi nyatanya adalah bisnis curang yang menggemukkan kantong elit.

Kebijakan Etanol: Luhut dan Bisnis Curang di Balik Topeng Nasionalis

Lihat kebijakan mandatori campuran etanol 10% (E10) di BBM bensin, disetujui Presiden Prabowo pada 7 Oktober 2025. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, dengan mimik serius, bilang ini untuk kurangi impor minyak—60% konsumsi bensin kita masih impor—dan dukung Net Zero Emission 2060. Target: 2027-2028, dengan bahan baku tebu Merauke dan singkong dari lokasi tak jelas. Terdengar keren bukan? Kemandirian energi, ramah lingkungan, katanya.

Tapi, ceritanya ada selentingan bau busuk di balik kata-katanya. Sebelum kebijakan ini resmi, pabrik etanol sudah berdiri—dan milik siapa? Luhut Binsar Pandjaitan, sang “raja kroni” era Jokowi yang kini jadi Ketua Dewan Ekonomi Nasional di kabinet Prabowo. Luhut, di usia 83 tahun, masih saja “ngacengan” dan “mupeng” di bisnis, dengan jaringan swasta yang merangsek ke sektor energi. Gak ngerti buat apa harta yang ditumpuknya tuku turunan gak habis. Seharusnya Pertamina, sebagai BUMN nasionalis, yang produksi etanol. Tapi kenapa perusahaan swasta milik Luhut yang kebagian kue duluan? Ini bukan kebetulan; ini jelas bisnis curang. Sudah disiapkan pabriknya, lalu dicari legitimasi untuk mendapatkan keuntungannya, inget saat Cofid, orang-orang itu juga mengambil keuntungan dari kebijakan soal vaksin dan mandatori yang mereka paksakan. Kalo ini, kebijakan E10 memaksa seluruh bensin dicampur etanol, tapi pasokannya? Dikuasai kroni Luhut. Rakyat? Bayar BBM “hijau” lebih mahal, sementara Luhut tambah kaya. Pakar Celios, Mufti, bilang: uji coba dulu, jangan buru-buru mandatori, karena dampak ke konsumen belum jelas. Tapi Bahlil cuek, dorong percepatan. Ini menjadi puncak kecurangan: kebijakan dibuat bukan untuk kepentingan rakyat, tapi untuk monopoli bisnis elit.

Bahaya pebisnis serakah seperti Luhut pegang kebijakan? Jelas. Dengan pengalaman bisnisnya, ia tahu cara memutar regulasi untuk keuntungan pribadi. Pabrik etanolnya berdiri sebelum kebijakan resmi—ini bukan visi, ini perencanaan yang (sengaja) curang. Rakyat jadi korban: harga BBM naik, swasta kecil terjepit, dan “kemandirian energi” cuma jargon untuk bisnis kroni. Apa ini negara nasionalis? Jelas bukan! Ini oligarki berjubah nasionalis, di mana kepentingan rakyat dikorbankan untuk tas Hermes, Channel, Louis Vuitton dan gaya hidup mewah elit.

Bahlil dan LPG Subsidi: Rakyat Antre, Kroni Tertawa

Bahlil Lahadalia, eks-pengusaha tambang yang kini jadi Menteri ESDM, punya rapor merah panjang: dari gelar doktor kilat UI yang dicurigai, hingga kebijakan yang bikin rakyat sengsara. Contoh? Larangan pengecer kecil jual LPG 3 kg subsidi per 1 Februari 2025, hanya boleh di pangkalan resmi dengan membawa KTP. Alasannya: untuk awasi harga, cegah penimbunan. Hasilnya? Antrean panjang, warga miskin kelelahan—bahkan ada yang meninggal di Pamulang karena antre terlalu lama. Pedagang kecil? Susah, kehilangan mata pencaharian.

Prabowo cabut kebijakan itu pada 4 Februari 2025, setelah protes membanjir di media sosial. Tapi ini pola klasik Bahlil: keluarkan kebijakan ceroboh, biarkan rakyat sengsara, lalu cabut setelah “guyub” dengan Jokowi atau kroni. Bahlil, yang mengaku Pancasilais, malah tebang pilih izin tambang: cabut empat IUP di Raja Ampat, tapi IUP PT Gag Nikel—dekat dengannya—cuma dibekukan. Greenpeace bilang ini akal-akalan untuk redam demo. Serakah? Pastinya. Negara menguasai distribusi LPG, tapi yang diuntungkan Pertamina (dengan saham elit), sementara rakyat kecil jadi tumbal.

Lihat juga kelangkaan BBM non-subsidi di SPBU swasta pada September 2025. Bahlil batasi impor BBM swasta maksimal 10% dari volume 2024, paksa mereka beli dari Pertamina tanpa margin besar. Hasilnya? SPBU swasta kehabisan stok, konsumen antre berjam-jam, bahkan ada gugatan perdata Rp1,1 juta dari pengendara. Netizen? 82,9% sentimen negatif ke Bahlil, tuding ia pro-Pertamina demi kroni. Banyak yang bilang ini blunder: rugikan swasta, Pertamina, dan rakyat. Inilah bahaya pebisnis serakah seperti Bahlil pegang kebijakan: naluri bisnisnya—yang dulu sukses di tambang—kini jadi senjata untuk monopoli dan pemerasan. Ada tuduhan upeti Rp5-25 miliar untuk aktifkan IUP tambang? Itu bukan regulasi, itu kecurangan berbalut kebijakan, yang bikin rakyat harus bayar mahal untuk nafsu elit.

Nasionalisme Diktator, Pancasila Kosong

Negara nasionalis ini, aslinya, diktator berjubah. Ganggu “kepentingan nasional”? Bisa dilenyapkan—lewat SE impor BBM yang bikin SPBU swasta krisis, atau larangan etanol yang paksa swasta membeli dari kroni. Manusia memang susah diatur, makanya ada agama dan Pancasila. Tapi elit? Mengaku hayati sila kelima, tapi korupsi merajalela. Bahlil kritik OSS perizinan karena anggaran kecil, tapi sendirinya tebang pilih IUP. Luhut sentil pengamat yang “keruhkan” suasana, minta demokrasi “sopan”—padahal kritik adalah hak setiap warga negara dalam negara yang katanya menganut demokrasi.

Luhut dan Bahlil, duo kroni Jokowi-Prabowo, setali tiga uang, saling bekerjasama: Luhut puji Bahlil, Bahlil bilang pemikiran Luhut “masih diperlukan”. Tapi kerjasama ini bukan untuk kepentingan rakyat—justru untuk mencurangi rakyat. Dari proyek MBG yang direbut Luhut dari Menkeu Purbaya, hingga FTA yang dievaluasi karena bau konflik kepentingan, semua tunjukkan pola yang sama: elit berbisnis dengan rakyat dengan cara curang!

Kesimpulan: Lawan Bisnis Curang Elit!

Keserakahan elit negara ini bukan soal ideologi—sosialis, kapitalis, atau nasionalis. Semua sama: kebijakan publik jadi alat bisnis yang curang. Etanol dan LPG subsidi adalah bukti nyata: negara kuasai produksi, tapi untungkan kroni seperti Luhut dan Bahlil. Bahaya pebisnis serakah pegang kebijakan? Mereka pikir untung-rugi, bukan kesejahteraan. Hasilnya: rakyat antre, harga naik, pedagang kecil mati, sementara elit menumpuk kekayaan. Saatnya rakyat bangkit, tolak diktator berjubah nasionalis. Kalau tidak, gaya hidup mewah elit pejabat akan terus dibeli dari keringat rakyat. Bangun, Indonesia—sebelum semuanya jadi milik mereka!(MDA’s insight)


Wukir Mahendra, 10 Oktober 2025
Sumber: Malika Dwi Ana 
×
Berita Terbaru Update