Jakarta, neocakra.com _Pidato politik kita selalu punya ciri khas: lantang, penuh angka fantastis, tapi sering tak berbanding lurus dengan tindakan. Presiden bisa menyebut *Rp300 triliun kerugian negara akibat tambang ilegal timah,* seolah-olah menyodorkan drama akbar yang menegangkan. Publik bertepuk tangan, aparat dikerahkan, dan kamera menyorot wajah penuh semangat. Tetapi begitu panggung ditutup, apa yang tersisa? Smelter senilai Rp6–7 triliun yang disita. Sisanya—ratusan triliun kerugian—lenyap entah ke mana.
Yang tak pernah diucapkan di podium adalah kenyataan sederhana ini: sebetulnya kerugian tambang ilegal itu jauh lebih besar daripada yang disingkapkan. Rp300 triliun hanyalah *puncak gunung es yang kebetulan terlihat.* Jika mau serius, ayo Presiden Prabowo bukalah manifest kapal di negara-negara pembeli. Dokumen itu bukan rahasia, melainkan arsip resmi bea cukai. Dari sana bisa terbaca jelas: kapal apa yang berlayar, membawa berapa ton timah, rare earth, atau mineral lain, dan siapa perusahaan pengirimnya. Data itu bisa menunjukkan bahwa nilai sesungguhnya jauh melampaui angka yang diumumkan.
Namun, alih-alih membaca data yang sudah telanjang di depan mata, negara lebih suka menonton drama ciptaannya sendiri. *Pidato yang vulgar, penindakan yang lambat, dan kerugian yang selalu dipermak jadi headline.* Seolah rakyat harus puas dengan tontonan bahwa “paling tidak ada yang disita”, padahal barang besarnya sudah lama berlayar, menyelinap dalam *manifest kapal* yang tak pernah dibuka ke publik.
Sejarah kasus besar di negeri ini sudah berkali-kali mengulang pola yang sama: *ASABRI, Jiwasraya, Bank Century. Kini giliran PT Timah.* Angka kerugian diumbar untuk membuat kita tercengang, tapi jejak uang dan barang dibiarkan kabur. Sandiwara demi sandiwara, sementara rakyat menanggung biaya kebodohan kolektif ini.
Mungkin, kalau pemerintah benar-benar ingin “menghentikan” tambang ilegal, yang dibutuhkan bukan pidato yang meledak-ledak, melainkan *keberanian membuka manifest kapal* Karena di situlah wajah asli para penjarah SDA negeri ini tercetak jelas—bukan di mikrofon pidato, melainkan di data pelayaran yang terus diabaikan.
Ya, kerugian besar bukanlah *sekadar angka untuk retorika, melainkan luka ekonomi yang nyata.* Sayangnya, luka itu ditutup dengan kata-kata keras, sementara obat yang sederhana—data manifes kapal—tak pernah disentuh.
*(Cak Bonang. Aktivis. Srawungan. AKAS. Arek Kampus Suroboyo. 8Okt'25)*