Notification

×

Iklan

Iklan

Fiqh Menyucikan Najis vs Sains Kesehatan

Senin, 13 Oktober 2025 | Oktober 13, 2025 WIB Last Updated 2025-10-12T18:29:46Z
Jakarta,neocakra.com _Di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin”. Ucapan seorang mantan pemimpin nomor satu negeri ini saat memerintahkan anak angkatnya membersihkan panci yang terkena jilatan anjing kesayangannya. Cerita ini masyhur karena tertulis dalam tulisan penanya yang bertajuk “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara”


Benarkah menyucikan najis dalam fikih Islam tak relevan lagi dengan perkembangan zaman?

Justru sains dan teknologi modern telah membuktikan bahwa konsep fikih dalam Islam terkait najis dan mensucikannya akurat dan sangat relevan untuk kesehatan manusia. Karena ternyata kuman atau bakteri berbahaya yang terkandung dalam najis hanya bisa mati dengan menyucikannya sesuai dengan fikih Islam. Padahal konsep fikih tersebut termaktub dalam hukum syara’ sejak 1400 tahun lalu, saat sains dan teknologi belum berkembang seperti sekarang.

Ini menunjukkan bahwa Sang Pembuat Hukum (Asy Syari’) memberikan syariat terbaik bagi kemashlahatan manusia termasuk dalam kesehatan. Artinya muslim dalam membahas najis dan cara mensucikannya tak perlu takut disebut jadul, kolot atau purba. Muslim harus percaya diri mengamalkan konsep fikih tersebut. Karena konsep fikih tersebut datang dari Zat Yang Maha Mengetahui. Mengamalkan fikih tersebut bukan karena mashlahat kesehatan tapi memenuhi perintah Allah SWT dan Rasul-Nya dalam ibadah yang ihsan. Kaidah Ushul fiqih menyatakan bahwa:

حَيْثُمَا كَانَ الشَّرْعُ فَثَمَّتِ اْلمَصْلَحَةُ

Di mana pun ada syariat, di situ pasti ada maslahat

Najis adalah zat yang pemanfaatannya haram secara mutlak (sedikit maupun banyak), saat kondisi ada ikhtiar (tak darurat) dan mudah mengindra zatnya. Najis lawan dari suci, sehingga najis dapat menghalangi sahnya ibadah muslim (shalat, puasa, haji dan sebagainya). Najis umumnya berada pada tempat, pakaian maupun badan.

Najis dikatakan dapat berpindah pada tempat, pakaian maupun badan apabila saling bersentuhan dalam keadaan basah, baik pada najisnya yang basah atau tempat, pakaian maupun badan yang basah. Artinya apabila najis atau tempat, pakaian maupun badan sama sama dalam keadaan kering, najisnya tak berpindah.

Cara afdhal dalam mensucikan najis dengan menggunakan air (suci dan mensucikan), haruslah air yang didatangkan ke najis. Kalau mau najis yang didatangkan ke air, jumlah air afdhal memenuhi kriteria air banyak (dua kullah atau setara dengan 216 liter).

Dalam kitab Safinatun Najah karangan Syekh Salim Bin Sameer al Hadhrami, najis terbagi menjadi tiga berdasarkan tingkat hukum dan cara membasuhnya, yaitu:

Pertama, najis mukhaffafah, najis yang tingkat hukumnya ringan. Berupa air kencing bayi laki-laki yang belum berumur dua tahun dan hanya mengonsumsi susu dari ibunya, atau susu murni dari hewan yang halal di makan (kambing, sapi, unta).

Cara menyucikan najis ini cukup memercikkan air secara kuat pada najisnya. Tekniknya berupa membersihkan dulu najisnya sampai tak basah lagi (misal air kencingnya pada baju, baju diperas dulu). Setelah najis kering baru dipercikkan air pada najis tersebut. Teknik yang lain berupa saat najis masih basah langsung dipercikkan air pada najis, dengan jumlah air yang lebih banyak daripada jumlah najis tersebut.


Kedua, najis mutawassithah, najis yang tingkat hukumnya sedang. Terbagi atas najis ‘ainiyyah dan hukmiyyah. Najis ‘ainiyyah adalah najis yang masih tampak jelas zat dan sifat-sifat zatnya (bau, rasa dan warna). Sebaliknya najis hukmiyyah adalah najis yang tak ada lagi zat dan sifat-sifat zatnya.

Najis mutawassithah adalah semua najis selain najis mukhaffafah dan mughalladzhah. Seperti setiap cairan yang keluar dari lubang qubul dan dubur manusia dan hewan selain babi dan anjing; cairan luka yang sudah berubah rasa, bau dan warna maupun yang sudah bercampur dengan darah dan nanah; sesuatu yang keluar dari lambung (seperti muntah); cairan yang memabukkan (seperti khamr, alkohol); susu dari hewan yang tak halal dimakan; bangkai kecuali bangkai manusia, ikan dan belalang; darah mengalir kecuali hati dan limpa; dan sebagainya.

Cara menyucikan najis ini melalui dua tahapan. Yaitu menghilangkan najis ‘ainiyyah dulu dilanjutkan dengan menghilangkan najis hukmiyyahnya. Misalnya kotoran ayam pada lantai atau karpet. Cara menyucikannya, membuang dulu zat kotoran ayam dengan menggunakan tisu atau kain atau bisa disikat. Lantai atau karpet masih terdapat najis ‘ainiyyah karena sifat bau kotoran ayam masih ada. Setelah itu air dituang dan diratakan di lantai atau karpet yang terkena najis. Lalu keringkan airnya dengan tisu/kain atau untuk karpet bisa dijemur dulu. Setelah lantai atau karpet kering status najisnya menjadi hukmiyyah. Setelah itu tuang kembali lantai atau karpet dengan air dan ratakan pada tempat najisnya. Kondisi setelah ini lantai atau karpet sudah menjadi suci. Najis mutawasithah yang mengenai pakaian, cukup menyucikannya dengan didatangkan air pada pakaian yang terkena najis sampai hilang zat dan sifat-sifat zatnya.

Ketiga, najis mughalladzhah, najis yang tingkat hukumnya berat. Yaitu najis dari anjing dan babi serta peranakannya.

Cara menyucikannya dengan disiram tujuh kali siraman air dan salah satu siraman dicampur dengan debu atau tanah. Misalnya kotoran anjing pada lantai atau karpet. Membuang dulu zat kotoran anjing dengan menggunakan tisu atau kain atau bisa disikat. Lantai atau karpet masih terdapat najis ‘ainiyyah karena sifat bau kotoran anjing masih ada. Setelah itu air dituang dan diratakan di lantai atau karpet yang terkena najis. Lalu keringkan airnya dengan tisu/kain atau untuk karpet bisa dijemur dulu. Setelah lantai atau karpet kering status najisnya menjadi hukmiyyah. Setelah itu tuang kembali lantai atau karpet dengan tujuh kali siraman air yang salah satu siramannya harus dicampur dengan debu atau tanah yang suci. Kondisi setelah ini lantai atau karpet sudah menjadi suci.

Najis mughalladzhah yang mengenai pakaian, cukup mensucikannya dengan didatangkan air pada pakaian dengan tujuh kali siraman. Salah satu siramannya harus dicampur dengan debu atau tanah yang suci sampai hilang zat najis dan sifat-sifat zatnya.

Hanya dengan cara-cara di atas dapat menyucikan najis menggunakan air dalam fiqih Islam. Karena cara-cara mensucikan najis bersifat ta’abbudi (syariat yang tak diketahui ‘illat yang terkandung di dalamnya kecuali Allah, yang dilaksanakan semata ketaatan pada Allah SWT).

Keimanan pada Allah dan syariat-Nya lah yang menjadikan landasan muslim mengamalkannya. Tak perlu berpaling pada perkataan manusia yang tak menyukai dan jahil pada syariat Allah SWT. Karena kepastian ibadah muslim akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah setelah kematiannya dengan standar syariat Allah bukan syariat manusia. Wallahu a’lam bish-shawab.[]

Desti Ritdamaya, Praktisi Pendidikan
×
Berita Terbaru Update