Notification

×

Iklan

Iklan

Global Sumud Flotilla: Refleksi Kebenaran Musa Vs Strategi Zalim Firaun

Senin, 06 Oktober 2025 | Oktober 06, 2025 WIB Last Updated 2025-10-06T16:32:31Z


 Jakarta,neocakra.com
- Benar, sejarah tidak pernah mati. Ia terus berulang dalam wajah yang berbeda, di ruang geografi berlainan, pelaku yang lain, namun dengan pola kuasa yang mirip sama. Perjuangan Nabi Musa as. menghadapi Firaun sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an menjadi cermin abadi bagaimana kekuasaan zalim beroperasi dan berstrategi. Bukan hanya dengan tangan besi, tetapi juga melalui sistem, propaganda, dan para pembantu yang memperkokoh status quo.

Jika dahulu Firaun menghalangi Musa dengan berbagai bentuk ancaman, kini kita menyaksikan gema strategi itu dalam usaha menghalangi pembebasan utuh Palestina dan gerakan seperti Global Sumud Flotila, sebuah armada kecil yang mencoba menembus blokade laut menuju Gaza dengan membawa misi kemanusiaan kasih dan sayang sesama insan.

Cerminan Qur’ani tentang Kezaliman

Al-Qur’an menyebut dan mengilustrasikan Firaun sebagai penguasa yang sewenang-wenang, menindas kaum lemah dan menciptakan ketakutan sistemik, bahkan memproklamirkan dirinya sebagai “Tuhan” rakyat Mesir:

“Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka. Ia menyembelih anak lelaki mereka dan membiarkan hidup perempuan mereka. Sesungguhnya dia termasuk orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qasas 28:4)

Ayat ini menyingkap watak Firaun sebagai penguasa yang memanfaatkan kekerasan struktural untuk mempertahankan kekuasaannya. Tindakan membunuh bayi lelaki Bani Israel bukan sekadar kebijakan, melainkan strategi politik untuk memutus masa depan generasi pembebas seterusnya.

Hari ini, Gaza menghadapi situasi yang serupa. Generasi mudanya dikekang, diblokade, kekurangan pangan, obat-obatan, dan kebebasan bergerak. Setiap usaha membawa bantuan, bahkan oleh flottila kemanusiaan, diperlakukan sebagai ancaman. Seperti Firaun, kekuasaan modern mengklaim semua itu demi “keamanan nasional”, padahal yang terjadi adalah kezaliman terang-terangan.

Narasi Firaun dan Narasi Modern      

Firaun tidak berkuasa dan menjalankan misinya sendirian. Dia memiliki bala tentera, penasihat seperti Haman, dan jentera propaganda yang menjustifikasi kezaliman. Ketika Musa datang dengan risalah kebenaran Firaun tidak hanya menindas dengan kekuatan militer, tetapi juga dengan narasi yang menyesatkan. Ia membangun wacana bahwa Musa adalah ancaman terhadap stabilitas Mesir, lalu mengajak para pembesarnya untuk mengokohkan kekuasaan. Al-Qur’an telah mengabadikan ucapan Firaun ini:

“(Firaun berkata): Wahai Haman, buatkanlah untukku sebuah bangunan tinggi supaya aku dapat mencapai pintu-pintu langit. Maka aku akan naik ke pintu-pintu langit itu untuk melihat Tuhan Musa, tetapi aku benar-benar menganggapnya seorang pendusta.” (QS. Ghafir 40:37)

Di sini, terlihat bagaimana Firaun bukan hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga teknologi, simbol kekuasaan, dan penasihatnya (Haman) untuk mengukuhkan otoritas. Dalam konteks kontemporer, kita melihat “Haman-Haman modern” berupa negara-negara sekutu, lembaga internasional yang lumpuh seperti PBB yang dibelenggu veto Dewan keamanan, membiarkan pendertiaan berlarutan, bahkan media laiknya “para tukang sihir Firaun” yang menormalisasi blokade Gaza. Mereka menyusun narasi bahwa flotila berbahaya, bahwa bantuan kemanusiaan adalah ancaman, padahal kebenarannya jelas berbeda.

Flottila: Simbol Kelompok Musa Modern dan Perlawanan Moral

Global Sumud Flottila bukanlah armada perang. Ia hanyalah kumpulan kapal kecil yang diisi aktivis, dokter, guru, dan relawan kemanusiaan. Namun, keberadaannya menjadi simbol “sumud” keteguhan dan istiqamah bangsa Palestina melawan penindasan dan ketidak adilan. Seperti halnya Musa, mereka membawa tongkat moral, bukan senjata.

Namun respon yang muncul dari kekuatan besar mirip dengan reaksi Firaun terhadap Musa: ancaman, fitnah, dan represi. Inilah pola yang berulang. Iaitu kekuasaan zalim selalu ketakutan terhadap suara kebenaran, walau datang dari kelompok kecil. Sehingga sedaya upaya para pembantu kuasa zalim justeru memperkuat kezaliman, bukan mengekangnya.

Reaksi kuasa besar terhadap flottila ini menyingkap wajah sebenar sistem internasional. Tekanan diplomatik, ancaman ketenteraan dan serangan media terhadap aktivis. Persis Firaun yang menghasut rakyat agar melihat Musa sebagai musuh. Dan kini dunia disajikan propaganda agar melihat flottila sebagai ancaman kepada “keamanan” serantau.

Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang laut, lalu Firaun dan bala tentaranya mengikuti mereka untuk menzalimi dan menindas. Hingga ketika Firaun hampir tenggelam, ia berkata: Aku percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Yunus 10:90)

Penyesalan Firaun datang terlambat. Demikian pula, sejarah menunjukkan bahwa setiap kekuasaan zalim, sekuat apapun, akhirnya runtuh.

Rasulullah Saw pernah bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya—dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

Hadis ini menjadi pedoman bagi umat Islam dan seluruh insan kemanusiaan untuk tidak diam melihat penindasan. Flottila kemanusiaan adalah wujud nyata mengubah kemungkaran dengan “tangan”-dengan aksi langsung membantu mereka yang dizalimi. Sedangkan dukungan masyarakat dunia, doa, dan suara solidaritas adalah bentuk melawan dengan lisan dan hati.

Ibrah dan Pelajaran untuk Dunia Islam

Refleksi dari kisah ini memberikan pelajaran penting:

Kezaliman adalah sistemik. Firaun memiliki pasukan, penasihat, dan propaganda. Begitu pula kekuatan zalim modern: mereka beroperasi melalui jaringan politik, ekonomi, dan media. Melawannya butuh solidaritas global yang juga sistemik.

Sumud adalah kunci. Nabi Musa dan Bani Israel menang bukan karena kekuatan militer, melainkan karena keteguhan iman. Begitu juga rakyat Palestina—kekuatan mereka adalah moral, spiritual, dan keberanian untuk tetap berdiri.

Akhir kezaliman pasti. Firaun akhirnya tenggelam, menjadi simbol bahwa kezaliman tidak pernah abadi. Blokade, serangan, dan penindasan hanya mempercepat runtuhnya legitimasi moral penguasa zalim.

Solidaritas adalah kewajiban. Umat Islam tidak boleh diam. Flotila hanyalah simbol, tetapi ia menggugah kesadaran bahwa setiap orang punya peran dalam perjuangan kemanusiaan dan keadilan.

Penutup

Global Sumud Flotila bukan sekadar kapal yang berlayar menuju Gaza. Ia adalah Musa kecil di hadapan Firaun modern. Ia membawa pesan bahwa kebenaran, meski terlihat lemah, mampu mengguncang singgasana kezaliman sekuat apapun adanya.

Al-Qur’an dan hadis telah memberi kita panduan. Jangan menjadi “pembantu Firaun” yang melanggengkan kezaliman, tetapi jadilah pengikut Musa yang setia kepada kebenaran. Sejarah Musa menegaskan bahwa kemenangan bukan milik siapa yang memiliki senjata terkuat, melainkan siapa yang berdiri teguh di sisi kebenaran. Wallahu a’lam. []

×
Berita Terbaru Update