Notification

×

Iklan

Iklan

Tabayyun, Senjata Ampuh Muslim di Era Gempuran ‘Cyberbullying’

Rabu, 08 Oktober 2025 | Oktober 08, 2025 WIB Last Updated 2025-10-08T10:28:33Z


Jakarta,neocakra.com
_Di era digital, kolom komentar media sosial sering kali menjadi gelanggang tanpa batas antara ekspresi dan agresi.

Di bawah setiap unggahan publik figur, bahkan pada akun pribadi seseorang, komentar sinis, hujatan, dan ejekan bertebaran tanpa kendali. Mulai dari komentar sepele seperti ‘lebay banget‘ hingga tudingan moral yang menjatuhkan, semuanya meluncur begitu mudah dari ujung jari.

Dunia maya yang seharusnya menjadi ruang berbagi justru berubah menjadi arena perundungan yang menyakitkan.

Fenomena ini bukan sekadar isu kecil. Laporan Digital Civility Index Microsoft pada 2023 menyebutkan, Indonesia masih termasuk negara dengan tingkat kesopanan digital terendah di Asia Tenggara. Banyak pengguna media sosial yang tanpa sadar ikut menyuburkan lingkaran kekerasan verbal daring dari menulis komentar negatif, membagikan konten hinaan, hingga menekan tombol “suka” pada unggahan yang merendahkan orang lain.

Di tengah dunia yang serba terhubung ini, di manakah posisi akhlak dan ajaran agama kita? Mampukah Islam menjadi benteng moral bagi umat di ruang digital?

Esensi dari cyberbullying sejatinya bukan hal baru dalam pandangan Islam. Ia hanyalah bentuk modern dari dosa lisan kini beralih menjadi dosa “jari”. Ketika seseorang menghina, mengolok, atau menyebar fitnah melalui komentar dan unggahan, sejatinya ia sedang menghidupkan kembali dosa yang telah diingatkan sejak lama.

Islam telah menegaskan larangan ini. Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat [49]:11 agar manusia tidak saling mengolok-olok dan merendahkan satu sama lain. Mengolok-olok fisik atau kekurangan seseorang dalam bentuk meme atau komentar tajam termasuk perbuatan sukhriyah, yang mencederai kehormatan sesama Muslim.

Begitu pula dengan ghibah membicarakan keburukan seseorang di balik punggungnya, yang kini sering terjadi di kolom komentar atau grup chat (QS. Al-Hujurat:12). Bahkan, fitnah atau menyebarkan kabar bohong untuk menjatuhkan orang lain disebut lebih kejam daripada pembunuhan (QS. Al-Baqarah:191).

Tak ketinggalan namimah, atau adu domba, yang muncul dalam bentuk komentar provokatif yang memanaskan situasi di media sosial. Semua itu menunjukkan bahwa dosa lama kini berwajah baru, dan media sosial menjadi ladangnya.

Islam memberikan satu panduan agung untuk melawan semua itu: tabayyun, yakni klarifikasi atau verifikasi informasi. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti…” (QS. Al-Hujurat: 6).

Prinsip tabayyun seharusnya menjadi “antivirus” bagi jari-jari kita sebelum mengetik, menyukai, atau membagikan sesuatu. Jika setiap Muslim menahan diri sejenak untuk bertanya, “Benarkah ini?” sebelum bereaksi, maka rantai hoaks dan perundungan digital akan terputus. Dalam dunia yang penuh kebisingan informasi, tabayyun adalah bentuk kecerdasan spiritual yang menyejukkan.

Berbeda dengan kata yang terucap dan segera hilang, jejak digital hampir mustahil dihapus. Setiap komentar jahat, foto yang mempermalukan, atau fitnah yang diunggah bisa terus beredar bertahun-tahun. Selama konten itu dilihat dan disebarkan orang lain, selama itu pula dosa akan terus mengalir kepada penulisnya bahkan setelah ia meninggal dunia.


Inilah bentuk nyata dari dosa jariyah digital. Jika pahala jariyah dapat mengalir dari amal baik yang bermanfaat, maka dosa pun bisa mengalir dari jejak digital yang melukai orang lain. Betapa mengerikannya jika layar yang setiap hari kita sentuh justru menjadi saksi keburukan kita di akhirat kelak.

Islam juga tidak mengajarkan kita untuk diam melihat kemungkaran. Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan; jika tidak mampu, maka dengan lisan; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hati.”

Dalam konteks dunia maya, “mengubah dengan tangan” bisa berarti melaporkan akun atau komentar yang berisi ujaran kebencian. “Dengan lisan” bisa dilakukan dengan menulis komentar penyejuk, membela korban secara bijak, atau menasihati pelaku. Dan “dengan hati” berarti tidak ikut menyukai, mengomentari, atau menyebarkan konten negatif, serta mendoakan kebaikan bagi semua pihak.

Islam sejatinya telah menyediakan panduan etika yang lengkap bukan hanya untuk dunia nyata, tetapi juga dunia maya. Di tengah derasnya arus informasi, mari kembali pada prinsip muhasabah (introspeksi) sebelum menekan tombol “posting”.

Tanyakan pada diri sendiri: Apakah tulisan ini bermanfaat? Apakah akan menyakiti seseorang? Apakah Allah rida? Gunakan media sosial sebagai ladang kebaikan: berbagi ilmu, menyebar semangat positif, dan menumbuhkan empati.

Bagi korban cyberbullying, ingatlah bahwa kesabaranmu memiliki nilai tinggi di sisi Allah. Setiap luka yang kamu tanggung akan menjadi bukti kezaliman di hadapan-Nya.

Mari bersama-sama menciptakan ruang digital yang sehat dan berakhlak. Sebab, menjaga jari dari keburukan adalah bagian dari menjaga hati—dan menjaga hati adalah inti dari keimanan.[]

Farhatus Solihati, Mahasiswi Program Studi Tasawuf Psikoterapi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya.

×
Berita Terbaru Update